ARYA BANJAR GETAS

Pada zaman dahulu di Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan besar. Kerajaan itu bernama Pejanggig. Adapun yang memerintah negeri tersebut bernama Datu Mas Pati. Ia mempunyai seorang putra yang amat tampan dan berkulit putih kuning. Semenjak lahir putra tersebut memiliki suatu tanda yang amat aneh. Ujung kemaluannya kerap kali bercahaya memancarkan sinar. Ketika melihat hal itu, Datu Mas Pati menjadi gelisah. la memandang hal itu sebagai suatu firasat yang kurang baik. Ia yakin putranya kelak akan memiliki kelainan-kelainan. Oleh karena firasat itu selalu mengganggu dirinya, ia pun memanggil seluruh ahli nujum yang berada di kerajaan itu. Mereka diperintahkan untuk meramalkan makna dari tanda ajaib yang dimiliki putra itu.

Setelah para ahli melaksanakan keahliannya, ternyata hanya seoranglah yang berani mengemukakan pendapat. Ahli nujum itu berasal dari Desa Tenang. Dengan penuh keyakinan, ia menyampaikan kepada Datu Mas Pati bahwa tanda yang dimiliki putranya itu adalah suatu tanda panas.

Setelah ahli nujum dari Desa Tenang itu mengemukakan pendapatnya dan disepakati oleh ahli-ahli nujum yang lain, raja pun mempercayai hasil ramalan itu. Oleh karena itu, ia pun mengadakan sidang dan meminta pertimbangan tentang langkah-langkah yang harus diambil terhadap putranya itu sebelum tanda-tanda buruk menjadi kenyataan, baik berupa bencana maupun kejadian-kejadian lain yang tak diingini.

Ketika mendengar usul raja, anggota persidangan menjadi terdiam. Tak seorang pun berani membuka mulut atau angkat bicara.

Suasana menjadi senyap sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri.

Setelah kesenyapan berjalan beberapa saat, raja pun memecahkannya dengan berkata.

“Oleh karena tak seorang pun di antara kalian yang mengajukan pendapat, dengarkan pendapatku. Menurut hematku, anak tersebut harus dilenyapkan. Ia harus dibunuh.”

Ketika mendengar kata-kata rajanya, permusyawaratan menjadi gemuruh. Semua peserta mengemukakan pendapat. Mereka menolak pendapat rajanya. Mereka tak setuju akan pembunuhan itu. Mereka memandang tindakan seperti itu adalah tindakan kejam dan biadab sebab putra itu tidak bersalah dan masih terlalu kecil. Ketika mendengar para peserta musyawarah tidak setuju atas putusannya, raja mundur selangkah. Akhirnya, mereka pun sepakat untuk membuang putra tersebut ke laut. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah peti dan putra makhota tersebut dimasukkan di dalamnya. Setelah ditutup dengan baik sehingga air tak dapat masuk ke dalamnya, peti itu pun dihanyutkan ke laut dengan iringan air mata dari seluruh pengantar.

Peti itu pun terseret arus menuju ke tengah laut dan dihantam oleh gelombang. Dengan demikian, berlalulah peti tersebut mengikuti jalannya gelombang laut.

Pada saat yang bersamaan, tersebutlah sebuah kisah di Pulau Jawa. Pada suatu malam permaisuri bermimpi sedang mengail di tengah laut. Pada saat itu, ia memperoleh sebuah permata yang sangat bagus, bercahaya, dan gemeriapan. Ketika terjaga, sang permaisuri pun menceritakan mimpi itu kepada suaminya. Sebagai seorang yang mengerti seluk-beluk mimpi, sang raja menafsirkan bahwa mimpi itu bukanlah kembang tidur semata, tetapi merupakan suatu isyarat baik dari Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, sang raja segera memerintahkan para pembesar negeri agar turut mengail ke tengah laut yang disebut dalam mimpi permaisuri.

Setelah tiba di tempat yang dituju, mereka semua melepaskan kail. Kail mereka tersangkut pada sebuah benda besar. Mereka

mengira kailnya sedang disergap oleh ikan yang amat besar. Oleh karena itu, raja memerintahkan untuk mengangkat kail beramairamai. Di luar dugaan, ternyata kail tu mengangkat sebuat peti. Raja pun segera memerintahkan untuk membawa peti itu ke tepi pantai.

Sampai di tepi pantai, raja pun memerintah agar segera membuka peti itu. Akan tetapi, para pengawal itu tidak berhasil membuka peti tersebut. Raja merasa penasaran dan akhirnya belia memerintahkan untuk mencari kapak untuk membuka peti. Baru saja tangan sang raja mengangkat kapak untuk diayunkan ke arah peti, tiba-tiba peti itu terbuka sendiri dan tampaklah di dalam seorang bayi yang tampak bercahaya dan amat tampan. Hati sang raja merasa terkejut bercampur gembira menyaksikan hal itu. Kejadian itu tak pernah diduganya terlebih dahulu. Namun, sayang, ujung kapak raja mengenai kening sebelah kanan sehingga terluka sedikit. Oleh karena itu, bayi tersebut dinamai Banjar Getas.

Setelah itu, mereka kembali ke istana. Untuk menyatakan kegembiraannya, sang raja menyelenggarakan keramaian selama tujuh hari, tujuh malam. Selanjutnya, selama dalam asuhan istana, Banjar Getas tampak segar bugar. Tambah lama anak itu tambah berkembang dengan baik dan tampak semakin tampan dan cerdas sekali. Saat-saat itu negeri menjadi semakin aman dan semakin makmur. Akhirnya, setelah Banjar Getas meningkat ke usia remaja, permaisuri pun meninggal dunia. Raja sangat bersedih atas musibah ini, demikian pula hal Banjar Getas.

Pada suatu hari ketika upacara Nyiwag selesai, raja sangat rindu akan permaisurinya. la pun berniat untuk memiliki lukisan permaisuri untuk kenang-kenangan. Oleh karena itu, raja memanggil para seniman. Akan tetapi, tak seorang pun di antara mereka yang sanggup mengerjakannya. Akhirnya, Banjar Getas mengajukan permohonan untuk menggarapnya. Permohonan itu diterima oleh sang raja. Banjar Getas pun segera memulai melukis permaisuri.

Semua orang kagum akan keahlian Banjar Getas dalam hal melukis. Lukisannya sangat mengagumkan. Wajah permaisuri dalam lukisan itu tak berbeda sedikit pun dengan aslinya. Lukisan itu begitu hidup. Garis-garisnya amat halus. Setelah selesai dan dianggap sempurna lukisan itu pun disampaikan kepada sang raja. Sang raja sangat berterima kasih kepada Banjar Getas karena harapannya telah menjadi kenyataan. Akan tetapi, setelah memperhatikan lukisan itu dengan cermat, sang raja menjadi sangat murka. Lukisan itu sangat menyinggung perasaan sang raja. Karena di salah satu tubuh lukisan permaisuri terdapat tahi lalat. Tahi lalat itu memang dimiliki oleh permaisuri dan tepat pada tempat yang sangat rahasia itu. Maksud sang raja tahi lalat itu jangan sampai terlukis.

Sesungguhnya, Banjar Getas tidak sengaja melukis tahi lalat itu. Tahi lalat itu terjadi hanya karena percikan tinta lukisan. Banjar Getas pun akhirnya menjelaskan hal itu kepada sang raja. Akan tetapi, sang raja tak mau mempercayainya karena ketepatan bentuk dan letaknya tahi lalat itu. Bahkan, Banjar Getas pun dibentak dan dituduh telah menodai permaisuri. Raja memandang ketepatan letak dan bentuk tahi lalat itu adalah suatu yang mustahil jika Banjar Getas tak pernah berbuat sesuatu dengan permmaisuri. Akhirnya, Banjar Getas pun diusir dari lingkungan istana. »

Dengan perasaan sedih dan malu, Banjar Getas pun meninggalkan istana. Ia pergi diikuti oleh 44 orang pengiring yang setia dan mencitainya. Kepergian Banjar Getas tak mempunyai tujuan yang pasti. Ia berjalan terus tak tentu arah. Akan tetapi, nasib dan takdir menentukan. Akhirnya, Banjar Getas beserta pengiringnya tiba di Labuhan Tereng. Dari tempat itu rombongan melanjutkan perjalanan ke arah timur.

Di sebuah perkampungan kecil itu, Banjar Getas dan rombongan bermalam. Ia menginap pada pondok A. Bangkol. Sampai saat ini tempat Banjar Getas menginap dinamakan tuduh. Kalau mendengar riwayat Banjar Getas, A. Bangkol membujuknya agar berkenan menetap di kampung yang kecil itu. Oleh karena desakan A. Bengkol, Banjar Getas pun memutuskan untuk menetap di kampung itu.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, Banjar Getas dan rombongan membuat bunga kertas dengan berbagai warna. Bunga kertas yang tampak indah itu dijual di pasar oleh Inag Bangkoi. Bunga kertas itu laku dengan cepat. Banjar Getas memang seorang seniman. Hasil karyanya digemari di mana-mana.

Pada suatu hari tibalah Inag Bangkol di kerajaan Kentawang. Di kerajaan itu dagangan Inag Bangkol amat laris. Permintaan mengalir tanpa henti. Bahkan, putri Kerajaan Kentawang pun memesan untuk dibuatkan bunga tunjung. Sang putri yang bernama Terong Kuning itu sangat mengagumi hasil karya itu. Itulah sebabnya ia menanyakan siapa pembuatnya. Inag Bangkoi mengatakan bahwa yang membuat bunga kertas itu adalah anaknya sendiri. Dengan jalan berdagang, Inag Bangkol setiap harinya berhasil memasuki istana.

Pada suatu hari istana akan menyelenggarakan upacara. Inag Bangkol memperoleh undangan juga. Bahkan, dengan suatu tekanan keharusan untuk had, hal itu diceritakan kepada Banjar Getas. Ketika mendengar hal itu, Banjar Getas menyuruh Inag Bangkol untuk membuat opak, ore, dan renggi jenis jajan yang layak dihaturkan kepada sang raja. Banjar Getas pun sanggup membuat lensongan berukuran 1 x 1 meter untuk tempat jajan itu.

Sehari sebelum upacara dimulai, Banjar Getas bersama dengan ke-44 pengiringnya berangkat ke Kentawang dengan memikul lensongan. Di sepanjang jalan lensongan itu dikagumi karena buatan dan bentuknya yang amat bagus. Mereka bukan hanya mengagumi saja. Mereka banyak yang larut dan turut dalam rombongan itu. Rombongan itu menjadi sangat banyak dan ramai dengan iringan yang panjang.

Setelah tiba di Kentawang, rombongan bersorak-sorai dengan gembira, sehingga suasana menjadi amat riuh. Raja pun bertanya dalam hati. Apa yang terjadi di luar. Putri Kentawang pun berlari menuju ke luar untuk menyaksikan keramaian itu. Namun, ditahan oleh sang raja. Untuk memenuhi keinginannya, sang raja memerintahkan mengambil tangga untuk tuan putri agar dapat menyaksikan

dari atas tembok. Dari tempat itu, Putri Kentawang dapat dengan jelas menyaksikan lensongan yang dibawa oleh Banjar Getas. Tanpa disengaja pandangan tuan putri bertemu dengan pandangan Banjar Getas Keduanya merasakan perasaan yang sama, perasaan yang sulit dilukiskan.

Putri Kentawang lupa pada posisinya. Ia naik ke anak tangga yang lebih tinggi, lebih tinggi, dan lebih tinggi lagi sehingga tangga itu tak lagi seimbang. Titik beratnya telah berpindah ke bagian atas. Akhirnya, tangga itu terbalik sehingga Putri Kentawang terlempar ke luar tembok dan jatuh menimpa Banjar Getas tanpa sengaja. Banjar Getas pun terjatuh, terguling, dan berhimpitan dengan Putri Kentawang.

Peristwa itu menyebabkan suasana menjadi sangat ramai. Raja menjenguk ke luar tembok istana dan menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Oleh karena itu, Raja Kentawang pun naik darah dengan seketika. Beliau menghunus keris yang terselip di pinggangnya serta dihujamkan ke tubuh Banjar Getas bertubi-tubi. Ketika mendapat serangan yang sangat tiba-tiba itu, Banjar Getas mengadakan perlawanan sambil mundur. Lensongan beserta isinya hancur berantakan. Raja sangat marah karena menganggap Banjar Getas sebagai pembuat onar dan menjatuhkan martabat keluarga besar Kentawang.

Akhirnya, Banjar Getas berhasil mundur dan meloloskan diri dari serangan sang raja. Banjar Getas dan rombongan pengiringnya pergi dari Kentawang berjalan menuju ke arah Sekaroh. Dari Sekaroh perjalanan dilanjutkan ke arah Sengkerang langsung ke Bayan dan terus ke Selaparang.

Kehidupan dan tempat tinggal Banjar Getas terus berpindahpindah. Pada suatu hari, Banjar Getas pergi ke Pejanggig. Saat itu Pejanggig diperintah oleh seorang raja muda sebab raja tua telah meninggal dunia. Umur raja muda itu sebaya dengan umur Banjar Getas. Sampai di Pejanggig, Banjar Getas menyaksikan orang banyak sedang menerima pembagian beras. Negeri itu sedang ditimpa bahaya kelaparan. Pembagian itu tidak merata dan akhirnya banyak

yang menggerutu. Sebagian berhasil, sebagian tidak berhasil atau gagal. Banjar Getas mendekati mereka dan meminta agar datang lagi keesokan harinya. Ia berjanji akan mengatur pembagian itu. Benar juga. Keesokan harinya rakyat pun datang berduyun-duyun. Pembagian pun dilakukan seperti biasa. Suasana pun menjadi kacau Ketika melihat hal itu, Banjar Getas pun menawarkan jasa kepada petugas.

Setelah mendapat persetujuan, Banjar Getas memerintahkan untuk membuat ruangan berpintu dua, yaitu pintu masuk dan pintu keluar. Dengan pengaturannya, semua orang mendapat bagian yang sama, sehingga tak terdengar lagi kegaduhan atau pun gerutu orang banyak. Secara kebetulan, raja negeri itu datang untuk menyaksikan pembagian beras oleh pelaksananya. Ketika melihat kecakapan Banjar Getas, sang raja merasa tertarik dan memintanya agar mau tinggal di Kerajaan Pejanggia.

Selama menetap di Pejanggig hubungan raja dengan dirinya berlangsung dengan baik. Raja sangat mempercayainya. Pada suatu hari raja menyampaikan niatnya untuk berumah tangga. Raja meminta kepada Banjar Getas agar mencarikan gadis yang layak menjadi istrinya. Setelah mencari ke segenap penjuru negera, Banjar Getas hanya menemukan dua orang yang cocok, yaitu Denda Bunga dan Denda Terong Kuning, putri Raja Kentawang.

Raja pun meminta agar Banjar Getas berangkat ke Kentawang. Oleh karena itu, Banjar Getas membuat suatu siasat dengan menyamar sebagai pedagang perhiasan. Dengan siasat itu, ia berhasil masuk ke istana. Ketika menjajakan perhiasan kepada Denda Terong Kuning, mata kedua insan itu bertemu. Hati keduanya terpaut

Tak lama berada di dalam istana, Banjar Getas pun meninggalkan Istana Kentawang dan kembali ke Pejanggig untuk melaporkan perjalanannya. Kecantikan kedua putri itu diceritakan kepada Raja Pejanggig. Ketika mendengar laporan itu, raja pun memutuskan untuk melakukan lamaran. Banjar Getas pun diutus untuk menyampaikan surat lamaran beberapa hari kemudian. Surat itu ditujukan

kepada Raja Kentawang. Di samping itu, Banjar Getas pun membuat surat pribadi yang ditujukan kepada Denda Terong Kuning. Dalam surat itu, ia bertanya kepada Denda Terong Kuning, siapakah yang akan menjadi pilihan Denda Terong Kuning. Raja Pejanggigkah atau Banjar Getas.

Setelah Raja Kentawang menerima surat Raja Pejanggig. Ia merasa sangat gembira karena Kerajaan Pejanggig berkenan menyambung hubungan dengan Kerajaan Kentawang. Oleh karena sambutan yang baik itu, Banjar Getas menentukan saat dan waktu pengambilan. Dikatakan bahwa Putri Kentawang akan dijemput pada malam Kamis dan harus diantar hingga Lendang kampu serta membawa penerangan obor. Sedangkan rombongan Pejanggig akan menjemput di Lendang Kampu.

Setelah perjanjian itu, Banjar Getas pun meninggalkan Negeri Kentawang dan melaporkan hasil perjalanannya kepada Datu Pejanggig. Akan tetapi, dalam laporan itu Banjar Getas melaporkan bahwa Denda Terong Kuning memiliki ilmu selag. Ia berniat akan mengadakan permusyawaratan kaum selog pada malam Kamis di Lendang Kampu.

Ketika mendengar laporan itu, sang raja berikir sejenak. Kemudian, ia menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin membuktikannya. Hal itu pun disanggupi oleh Banjar Getas. Raja pun menyatakan pendapatnya bahwa sedapat mungkin beliau harus mengawini putri Kentawang karena lamaran telah dijalankan. Hina benar jikalau membatalkan lamaran tanpa alasan yang cukup kuat dan hal itu akan dapat meruntuhkan martabat Kerajaan Pejanggig.

Pada malam Kamis yang telah ditentukan, Banjar Getas mengajak sang raja berangkat untuk membuktikan adanya selog yang sedang menyelenggarakan permusyawaratan. Saat yang sama rombongan calon pengantin dari Kentawang pun berangkat menuju Pangadangan. ,

Denda Terong Kuning dihias dengan pakaian gemerlapan seperti biasanya calon pengantin. Denda Bunga pun turut serta dalam rombongan itu. Oleh karena rombongan berangkat malam

aw | hari, mereka pun membawa penerangan berupa obor. Dari jauh nyala obor itu telah tampak sangat ramai. Pada tempat yang sepi dan terkenal angker nyala obor itu memberikan asosiasi menakutkan. Nyalanya tampak bagaikan nyala selag yang sedang berangkat ke suatu tempat.

Dari jauh nyala itu telah tampak oleh Banjar Getas dan Raja Pejanggig. Ketika melihat hal itu Banjar Getas pun berkata kepada rajanya.

“Tuanku, khhatiah nyala itu. Pastilah nyala selag yang akan mengadakan permusyawaratan. Tampaknya sangat menakutkan. Kata orang, Denda Terong Kuninglah pemimpin mereka,” kata Banjar Getas dengan sungguh-sungguh. Ketika mendengar hal itu dan sambil mengamati cahaya di kejauhan yang tampak menyeramkan, terasa nyali Raja Pejanggig mulai mengecil. Akan tetapi, beliau berusaha menguasai diri.

“Benarkah itu nyala selag, Banjar getas. Tidakkah itu nyala

|) obor penduduk yang sedang berpesta pora?” Banjar Getas pun p memotong dengan cepat. 3

“Mungkin benar sabda Tuanku. Hamba akan membuktikan. Tunggulah hamba di tempat ini. Hamba akan ke tempat itu agar dapat mengetahui dengan pasti.”

Tanpa menunggu jawaban, Banjar Getas pun berlari dengan cepat. Tanpa dapat berpikir panjang, sang raja pun merestuinya dengan penuh tanda tanya. Setelah itu, Banjar Getas bergerak dengan cepat menuju ke cahaya yang banyak itu. Setelah tiba, ia pun memerintahkan kepada semua rombongan untuk mematikan semua obor yang menyala itu. Dalam sekejap suasana pun menjadi gelap gulita. Raja Pejanggig yang mengamati dari kejauhan merasa ngeri menyaksikan cahaya yang padam dengan seketika itu. Bulu kuduknya terasa berdiri. Kini ia menjadi yakin bahwa nyala itu adalah nyala selag.

Dengan berdebar, beliau menanti kedatangan Banjar Getas kembali. Saat yang sama Banjar Getas memerintahkan Denda Terong Kuning untuk berganti pakaian hitam dan mengotori wajah

nya sehingga meyakinkan bahwa dirinya pandai dalam ilmu selag. Setelah semua kata-kata Banjar Getas dilaksanakan, ia pun kembali dengan cepat menemui Raja Pejanggig yang sedang menantinya dengan penuh tanda tanya.

Akhirnya, Banjar Getas pun berkata “Benar Tuanku. Begitu hamba mendekat, semua nyala itu padam seketika. Benarlah kata orang, malam ini para selag sedang bermusyawarah dan Denda Terong Kuninglah pemimpinnya.” Sesaat Banjar Getas menghentikan kata-katanya kemudian disambungnya “Oleh karena itu, terserahiah Tuanku sekarang. Denda Terong Kuning jelas pandai selag.”

“Akan tetapi lamaran itu telah kita jalankan, pastilah kecewa hati Raja Kentawang akan sikap kita kalau lamaran itu kita batalkan.”

“Tidak Tuanku. Menurut kebiasaan, Denda Bunga saudara Denda Terong Kuning pasti turut serta dalam rombongan yang akan datang itu. Tuanku masih dapat melakukan pilihan. Apabila Tuanku menjatuhkan pilhan pada Denda Bunga, kita pasti tidak mengecewakan Raja Kentawang.”

Keesokan harinya, setelah rombongan berada di Istana, Raja Pejanggig pun mengamati kedua putri itu. la menilik wajah dan pakatan Denda Terong Kuning dan Denda Bunga, serta kesan semalam dari berita yang disampaikan oleh Banjar Getas, Raja Pejanggig pun menjatuhkan pilihannya pada Denda Bunga. Setelah mendengar keputusan dari sang raja, Banjar Getas pun mengemukakan pendapatnya bahwa kurang layak kalau Denda Terong, Kuning dikembalikan demikian saja. Sangat bijaksana kalau Raja Pejanggig mengizinkan dirinya untuk mengawini Denda Terong Kuning.

Setelah itu berlangsunglah pesta perkawinan antara Raja Pejanggig dan Denda Bunga. Kemudian, keesokan harinya dilaksanakan pula upacara perkawinan antara Denda Terong Kuning dan Banjar Getas. Ketika pernikahan Banjar Getas berlangsung, penghulu yang memimpin upacara itu sangat heran dan terkejut saat melihat kecantikan Denda Terong Kuning. Kecantikannya jauh me

lebihi kecantikan Denda Bunga. Penghulu itu merasakan lebih layak istri Banjar Getas ini menjadi permaisuri Raja Pejanggig. Peristiwa dan kesan itu pun menjadi buah bibir masyarakat dan akhirnya terdengar pula di telinga Raja Pejanggig. Di hadapan Raja Pejanggig, penghulu itu menyampaikan “Sewaktu hamba diminta kesediaannya untuk menikahkan, hamba melihat calon pengantin wanita sedang bersisir. Rambutnya sangat panjang Kalau ujungnya tidak disangga pasti akan menyapu tanah.”

Ketika mendengar laporan itu, timbullah niat Raja Pejanggig untuk melihatnya. Semua wanita Kerajaan Pejanggig diundang agar datang ke istana membawa sensek. Khusus istri Banjar Getas diundang agak terlambat. Setelah tiba di istana, tempat yang tersedia telah penuh. Denda Terong Kuning diperintahkan untuk datang ke serambi Raja Pejanggig. Ketika melihat kecantikan Denda Terong Kuning, terbit perasaan busuk di dalam hati sang raja. la berniat memperistrinya.

Para wanita lain mulai menenun. Setelah selesai, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah Denda Terong Kuning seorang diri. Raja pun mulai mendekatinya. Ia mengeluarkan beberapa kata pujian dan bujukan. Setelah itu raja menjelaskan niatnya untuk memperistri.

Oleh karena perlakukan sang raja itu, Denda Terong Kuning menjadi gelisah dan bergerak hendak melarikan diri kembali ke rumahnya. Pada saat itu Raja Pejanggig memburu dan berhasil merampas selendang Denda Terong Kuning. Selendang itu selalu dipergunakan oleh sang raja di tempat yang tersembunyi. Denda Terong Kuning pun menceritakan semua peristiwa tersebut kepada Banjar Getas. Akan tetapi, Banjar Getas tetap bersikap tenang dan menasihati istrinya agar tetap berusaha menjaga kesucian diri dan bersikap selalu waspada

Kegagalan itu menyebabkan Raja Pejanggig selaiu berupaya dan dengan penuh napsu mencari jalan lain. Raja pun mengumumkan akan menyelenggarakan suatu pesta besar. Oleh karena itu, Banjar Getas pun dipanggil dan diperintahkan berangkat

kepada Raja Kentawang. Di samping itu, Banjar Getas pun membuat surat pribadi yang ditujukan kepada Denda Terong Kuning. Dalam surat itu, ia bertanya kepada Denda Terong Kuning, siapakah yang akan menjadi pillhan Denda Terong Kuning Raja Pejanggigkah atau Banjar Getas.

Setelah Raja Kentawang menerima surat Raja Pejanggia, Ia merasa sangat gembira karena Kerajaan Pejanggig berkenan menyambung hubungan dengan Kerajaan Kentawang. Oleh karena sambutan yang baik itu, Banjar Getas menentukan saat dan waktu pengambilan. Dikatakan bahwa Putri Kentawang akan dijemput pada malam Kamis dan harus diantar hingga Lendang kampu serta membawa penerangan obor. Sedangkan rombongan Pejanggig akan menjemput di Lendang Kampu.

Setelah perjanjian itu, Banjar Getas pun meninggalkan Negeri Kentawang dan melaporkan hasil perjalanannya kepada Datu Pejanggig. Akan tetapi, dalam laporan itu Banjar Getas melaporkan bahwa Denda Terong Kuning memiliki ilmu selag. Ia berniat akan mengadakan permusyawaratan kaum selog pada malam Kamis di Lendang Kampu.

Ketika mendengar laporan itu, sang raja benkir sejenak. Kemudian, ia menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin membuktikannya. Hal itu pun disanggupi oleh Banjar Getas. Raja pun menyatakan pendapatnya bahwa sedapat mungkin beliau harus mengawini putri Kentawang karena lamaran telah dijalankan. Hina benar jikalau membatalkan lamaran tanpa alasan yang cukup kuat dan hal itu akan dapat meruntuhkan martabat Kerajaan Pejanggig.

Pada malam Kamis yang telah ditentukan, Banjar Getas mengajak sang raja berangkat untuk membuktikan adanya selog yang sedang menyelenggarakan permusyawaratan. Saat yang sama rombongan calon pengantin dari Kentawang pun berangkat menuju Pangadangan. .

Denda Terong Kuning dihias dengan pakaian gemeriapan seperti biasanya calon pengantin. Denda Bunga pun turut serta dalam rombongan itu. Oleh karena rombongan berangkat malam

hari, mereka pun membawa penerangan berupa obor. Dari jauh nyala obor itu telah tampak sangat ramai. Pada tempat yang sepi dan terkenal angker nyala oor itu memberikan asosiasi menakutkan. Nyatanya tampak bagaikan nyaia selag yang sedang berangkat ke suatu tempat.

Dari jauh nyala itu telah tampak oleh Banjar Getas dan Raja Pejanggig. Ketika melihat hal itu Banjar Getas pun berkata kepada rajanya.

“Tuanku, lihatlah nyala itu. Pastilah nyala selag yang akan mengadakan permusyawaratan. Tampaknya sangat menakutkan. Kata orang, Denda Terong Kuninglah pemimpin mereka,” kata Banjar Getas dengan sungguh-sungguh. Ketika mendengar hal itu dan sambil mengamati cahaya di kejauhan yang tampak menyeramkan, terasa nyali Raja Pejanggig mulai mengecil. Akan tetapi, beliau berusaha menguasai diri.

“Benarkah itu nyala selag, Banjar getas. Tidakkah itu nyaia obor penduduk yang sedang berpesta pora?” Banjar Getas pun ? memotong dengan cepat. .

“Mungkin benar sabda Tuanku. Hamba akan membuktikan. Tunggulah hamba di tempat ini. Hamba akan ke tempat itu agar dapat mengetahui dengan pasti.”

Tanpa menunggu jawaban, Banjar Getas pun berlari dengan cepat. Tanpa dapat berpikir panjang, sang raja pun merestuinya dengan penuh tanda tanya. Setelah itu, Banjar Getas bergerak dengan cepat menuju ke cahaya yang banyak itu. Setelah tiba, ia pun memerintahkan kepada semua rombongan untuk mematikan semua obor yang menyala itu. Dalam sekejap suasana pun menjadi gelap gulita. Raja Pejanggig yang mengamati dari kejauhan merasa ngeri menyaksikan cahaya yang padam dengan seketika itu. Bulu kuduknya terasa berdiri. Kini ia menjadi yakin bahwa nyala itu adalah nyala selag.

Dengan berdebar, beliau menanti kedatangan Banjar Getas kembali. Saat yang sama Banjar Getas memerintahkan Denda Terong Kuning untuk berganti pakaian hitam dan mengotori wajah

nya sehingga meyakinkan bahwa dirinya pandai dalam ilmu se/ag. Setelah semua kata-kata Banjar Getas dilaksanakan, ia pun kembali dengan cepat menemui Raja Pejanggig yang sedang menantinya dengan penuh tanda tanya.

Akhirnya, Banjar Getas pun berkata “Benar Tuanku. Begitu hamba mendekat, semua nyala itu padam seketika. Benarlah kata orang, malam ini para selag sedang bermusyawarah dan Denda Terong Kuninglah pemimpinnya.” Sesaat Banjar Getas menghentikan kata-katanya kemudian disambungnya “Oleh karena itu, terserahlah Tuanku sekarang. Denda Terong Kuning jelas pandai selag.”

“Akan tetapi lamaran itu telah kita jalankan, pastilah kecewa hati Raja Kentawang akan sikap kita kalau lamaran itu kita batalkan.”

“Tidak Tuanku. Menurut kebiasaan, Denda Bunga saudara Denda Terong Kuning pasti turut serta dalam rombongan yang akan datang itu. Tuanku masih dapat melakukan pilihan. Apabila Tuanku menjatuhkan pilihan pada Denda Bunga, kita pasti tidak mengecewakan Raja Kentawang.””

Keesokan harinya, setelah rombongan berada di Istana, Raja Pejanggig pun mengamati kedua putri itu. la menilk wajah dan pakaian Denda Terong Kuning dan Denda Bunga, serta kesan semalam dari berita yang disampaikan oleh Banjar Getas, Raja Pejanggig pun menjatuhkan pilihannya pada Denda Bunga. Setelah mendengar keputusan dari sang raja, Banjar Getas pun mengemukakan pendapatnya bahwa kurang layak kalau Denda Terong, Kuning dikembalikan demikian saja. Sangat bijaksana kalau Raja Pejanggig mengizinkan dirinya untuk mengawini Denda Terong Kuning.

Setelah itu berlangsunglah pesta perkawinan antara Raja Pejanggig dan Denda Bunga. Kemudian, keesokan hannya dilaksanakan pula upacara perkawinan antara Denda Terong Kuning dan Banjar Getas. Ketika pernikahan Banjar Getas berlangsung, penghulu yang memimpin upacara itu sangat heran dan terkejut saat melihat kecantikan Denda Terong Kuning. Kecantikannya jauh melebihi kecantikan Denda Bunga. Penghulu itu merasakan lebih layak istri Banjar Getas ini menjadi permaisuri Raja Pejanggig. Peristiwa dan kesan itu pun menjadi buah bibir masyarakat dan akhirnya terdengar pula di telinga Raja Pejanggig. Di hadapan Raja Pejanggig, penghulu itu menyampaikan “Sewaktu hamba diminta kesediaannya untuk menikahkan, hamba melihat calon pengantin wanita sedang bersisir. Rambutnya sangat panjang Kalau ujungnya tidak disangga pasti akan menyapu tanah.”

Ketika mendengar laporan itu, timbullah niat Raja Pejanggig untuk melihatnya. Semua wanita Kerajaan Pejanggig diundang agar datang ke istana membawa sensek. Khusus istri Banjar Getas diundang agak terlambat. Setelah tiba di istana, tempat yang tersedia telah penuh. Denda Terong Kuning diperintahkan untuk datang ke serambi Raja Pejanggig. Ketika melihat kecantikan Denda Terong Kuning, terbit perasaan busuk di dalam hati sang raja. Ia berniat memperistrinya.

Para wanita lain mulai menenun. Setelah selesai, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah Denda Terong Kuning seorang diri. Raja pun mulai mendekatinya. la mengeluarkan beberapa kata pujian dan bujukan. Setelah itu raja menjelaskan niatnya untuk memperistri.

Oleh karena perlakukan sang raja itu, Denda Terong Kuning menjadi gelisah dan bergerak hendak melarikan diri kembali ke rumahnya. Pada saat itu Raja Pejanggig memburu dan berhasil merampas selendang Denda Terong Kuning. Selendang itu selalu dipergunakan oleh sang raja di tempat yang tersembunyi. Denda Terong Kuning pun menceritakan semua peristiwa tersebut kepada Banjar Getas. Akan tetapi, Banjar Getas tetap bersikap tenang dan menasihati istrinya agar tetap berusaha menjaga kesucian diri dan bersikap selalu waspada

Kegagalan itu menyebabkan Raja Pejanggig selalu berupaya dan dengan penuh napsu mencari jalan lain. Raja pun mengumumkan akan menyelenggarakan suatu pesta besar. Oleh karena itu, Banjar Getas pun dipanggil dan diperintahkan berangkat ke

Pulau Bal: untuk berbelanja. Ketika mendapat perintah dari sang raja, Banjar Getas pun berangkat tanpa berprasangka. Oleh karena hari sudah malam, Banjar Getas pun akhirnya bermalam di istana Banginda.

Tengah malam saat tidur nyenyak, Banjar Getas menerima perintah di dalam mimpi. Perintah itu mendesak agar Banjar Getas segera kembali ke Pejanggig sebab akan terjadi suatu musibah. Saat yang sama, Raja Pejanggig berusaha menemui Denda Terong Kuning di tempat kediamannya. Akan tetapi, Denda Terong Kuning adalah seorang yang beriman dan bermoral kuat, serta menjunjung harga diri yang tinggi. la pun menolak untuk membuka pintu. Rencana Raja Pejanggig pun menjadi gagal pada malam itu.

Keesokan harinya, Banjar Getas pun kembali ke Pejanggig. Setelah malam hari, barulah ia tiba. Ia pun memanggil istrinya minta dibukakan pintu.

“Tak layak orang datang karena suamiku tak ada di rumah.”

“Terong Kuning,” kata Banjar Getas, “Aku suamimu, bukakan pintu.”

“Tidak, suamiku pergi ke Bali,” kata Denda Terong Kuning dengan tegas karena ia yakin suarminya telah berangkat ke Bali. Oleh karena itu, Banjar Getas pun kehilangan kesabaran dan akhirnya mendobrak pintu dengan kekerasan. Ketika pintu terbuka, Banjar Getas pun segera merangkul istrinya dengan mesra.

“Mengapa kau tak mau membukakan pintu kekasihku? Tidakkah kau kenal suaraku?”

“Bukan tak mau suamiku. Akan tetapi, semalam Datu Pejanggig berbuat hal yang sama. Beliau minta dibukakan pintu. Namun, aku tak mau membukanya karena aku tahu maksudnya.”

Keesokan harinya pagi-pagi benar, Banjar Getas pun menghadap kepada rajanya. la melaporkan bahwa keberangkatannya ke Pulau Bali menjadi gagal karena gelombang laut amat besar dan menyebabkan sampan tak berani menyeberang. Meskipun demikian, semua upacara berlangsung sesuai rencana. Keramaian berjalan tujuh hari dan tujuh malam.

Setelah itu, Raja Pejanggig kembali berpikir mencari akal untuk memiliki Denda Terong Kuning. Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk membunuh Banjar Getas.

Semua pembesar negeri pun diperintahkan untuk berangkat berburu, termasuk Banjar Getas. Dalam perjalanan, Banjar Getas diperintahkan berjalan pahng depan setelah Raja Pejanggig. Akan tetapi, Banjar Getas mempunyai firasat kurang enak, ia menolak berjalan di depan sang raja. Raja Pejanggig memaksanya dengan jalan menarik kekang kuda Banjar Getas.

Saat itu, Banjar Getas melihat selendang istrinya dipakai oleh Raja Pejanggig. Yakinlah kini Banjar Getas bahwa dirinya terancam dan terhina. Oleh karena sikap menantang itu, pertempuran antara Banjar Getas dan Raja Pejanggig pun terjadilah. Keduanya sama gesit, sama sigap, dan sama tangkas. Pertempuran itu akhirnya berkembang menjadi ramai. Pengikut masing-masing melibatkan diri ke dalam gelanggang. Banjar Getas dengan pengikutnya yang berjumlah 44 orang itu bertahan dengan gigih menghadapi serangan bala tentara Raja Pejanggig. Akan tetapi, jumlah lawan cukup banyak.

Akhirnya, Banjar Getas dan pengikutnya mengambil siasat mundur. Sejak saat itu, Banjar Getas tak mau lagi tunduk kepada Raja Pejanggig dan terus mengadakan sikap permusuhan. Merasa tidak puas dan tidak aman selama Banjar Getas masih hidup, sulit bagi raja untuk memperoleh dan memperistri Denda Terong Kuning. Oleh karena itu, Raja Pejanggig pun mengirim utusan untuk meminta bantuan ke Pulau Bali dengan dalih untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Banjar Getas.

Berita itu pun tersiar luas di masyarakat dan terdengar pula oleh Banjar Getas. Oleh karena itu, Banjar Getas membuat suatu siasat. Ia berangkat ke pesisir pantai sebelah barat sambil menggembalakan itik. Waktu menggembala, ia membuat ampon. itulah sebabnya hingga dewasa ini pantai tersebut dinamai Ampenan. Di samping menunggu kedatangan bala bantuan dari Bali, Banjar Getas

membuat kandang itik di suatu tempat. Tempat itu hingga saat ini dinamakan Repog Bebek.

Akhirnya, tibalah saat yang dinantikan. Bala bantuan dari Pulau Bali telah tampak mendekati pantai untuk mendarat. Banjar Getas pun mulai menjalankan siasatnya. Ia langsung menyongsong pasukan yang mendarat itu. Dengan ramah tamah, ia menyapa dan mengemukakan niatnya untuk bertemu dengan Anak Agung, pemimpin rombongan. Setelah berbicara berdua Banjar getas pun memulai.

“Selamat datang di Negeri Sasak, Anak Agung. Kalau boleh hamba bertanya ke manakah tujuan Tuanku? Hamba bersedia penunjuk jalannya untuk mempermudah perjalanan Tuanku.”

“Saudara amat baik. Terima kasih atas uluran tanganmu. Benarkah kaumau membantuku?”

“Masakah hamba berbohong kepada Tuanku. Hamba tahu apa hukumannya kalau hamba membohongi Tuanku. Akan tetapi, ke manakah Tuanku hendak pergi?”

“Aku hendak pergi ke Kerajaan Pejanggig.”

“Ada apakah Tuanku. Kerajaan itu amat jauh.”

“Aku diminta datang untuk membantu Raja Pejanggig memadamkan pemberontakan.”

“Pemberontakan apakah yang dimaksudkan itu, Tuanku? Sepanjang pengetahuan hamba Negeri Pejanggig sangat aman. Hanya kadang-kadang Raja Pejanggig sendiri bertindak lancang kepada bawahannya.”

“Berani benar kau berkata seperti itu. Nadamu menyalahkan Raja Pejanggig.”

“Benar, Tuanku. Apa yang hamba katakan ini adalah benar. Hamba tahu apa hukumannya kalau hamba berkata tidak benar. Di Negeri Pejanggia tidak pernah terjadi pemberontakan. Hamba tahu benar.”

“Ternyata, kamu bohong. Raja Pejanggig mengatakan bahwa pemberontakan dilakukan oleh Banjar Getas. Mustahil seorang raja seperti itu memberikan laporan palsu dan meminta bantuan.”

“Memang terjadi sedikit huru hara, Tuanku. Namun, bukan merupakan pemberontakan. Huru hara itu pun terjadi hanya karena kekeliruan Raja Pejanggig. Tuanku diminta bantuan untuk menumpas orang yang tidak bersalah. Hamba mengetahui benar persoalannya.”

“Kalau benar apa yang kaukatakan, cobalah ceritakan sejelasjelasnya.”

Banjar Getas pun mulai mencentakan semua persoalan dengan sungguh-sungguh dan setulus hati. Akhirnya, ia pun berkata “Setelah hamba menceritakan persoalan dengan sebenarnya, kini terserahlah, Tuanku. Kalau Tuanku masih mau menumpas orang yang bernama Banjar Getas, inilah orangnya. Hambalah Banjar Getas, seorang yang tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun tetapi dicintai oleh rakyat yang setia kepada kebenaran tata krama dan moral. Hamba tak berdaya. Sekarang pun hamba menyerah dan siap untuk dihukum. Akan tetapi, apabila Tuanku setia kepada kebenaran, Tuanku telah dibohongi oleh Raja Pejanggig untuk menumpas orang yang tak patut ditumpas. Kini semuanya telah jelas. Apabila Tuanku berkenan marilah kita hancurkan Raja Pejanggig yang melanggar susila. Hamba beserta pengikut setia hamba akan siap sedia bersama-sama menghadapi Raja Pejanggig itu.”

Akhirnya, Anak Agung yakin akan kebenaran kata-kata Banyar Getas dan akhirnya sepakat untuk bekerja sama menyerang Pejanggig. Ketika Raja Pejanggig datang bersama dengan pasukannya untuk menyambut kedatangan Anak Agung dari Bali, beliau amat terkejut karena ternyata Anak Agung telah bergabung dengan Banjar getas. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Kedua belah pihak sama kuat. Akhirnya, pasukan Raja Pejanggig merasa terdesak. Sang Raja meminta bantuan kepada Patih Seketeng dari Lamben Pujut. Patih ini kemudian mengamuk bagaikan banteng kesurupan sehingga menyebabkan pihak lawan banyak yang mati. Namun, akhirnya Patih Seketeng pun tertangkap dan diputuskan untuk dibunuh. Segala macam senjata dipergunakan untuk menikamnya tetapi satu pun tak ada yang mempan. la pun dibakar dengan

tumpukan ijuk, tetapi tak sehelai bulu pun yang hangus. Akhirnya, patih itu dapat meloloskan diri. Oleh karena itu, pasukan Raja Pejanggig kembali menjadi kuat dan menyebabkan pasukan Anak Agung dan Banjar Getas kewalahan.

Banjar Getas dan Anak Agung mengambil siasat menyerah. Kesempatan itu digunakan untuk menyusun kembali kekuatan baru dan mengatur siasat selanjutnya. Banjar Getas menjalankan siasat untuk memisahkan Patih Seketeng dengan Raja Pejanggig. Disiarkanlah suatu berita bahwa Patih Seketeng berniat untuk merebut kekuasaan. Ketika mendengar beritu itu, Raja Pejanggig kurang selidik. Berita itu diterima dengan mentah-mentah. Dia pun Lalu memerangi Patih Seketeng, tetapi tak berhasil karena Patih Seketeng tak termakan oleh senjata apa pun. Namun, perlakuan itu menyebabkan Patih Seketeng jemu. Dia tidak tega menghadapi rajanya.

“Nah, kalau Tuaniu bermaksud membunuh hamba yang tak bersalah ini, pergunakanlah senjata ini.” la pun menyerahkan senjata yang terbuat dari buluh gading. “Hanya senjata inilah yang dapat mencabut nyawa hamba. Tusuklah telapak kaki hamba.”

Raja Pejanggig pun mengambil senjata itu dan menusukkan ke telapak kaki Patih Seketeng. Patih Seketeng pun langsung menghembuskan nafas terakhirnya.

Setelah kematian Patih Seketeng tersiar, Banjar Getas dan Anak Agung pun mengumumkan perang kembali kepada Pejanggig. Dalam peperangan yang tak tertahankan itu, Pejanggig menderita kekalahan. Raja Pejanggig sempat melarikan diri menuju ke suatu tempat. Dari tempat itu, ia dapat menyaksikan api berkobar memusnahkan istana Pejanggig. Di tempat itu pula Raja Pejanggig menghilang. Kemudian, tempat itu dinamakan Seriwa.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com