Ini sebuah kisah dari pinggiran kota Jakarta, kisah keseharian seekor kecoa dan dua temannya. Panggillah kecoa itu Pietra.
Ini sebuah kisah yang berasal dari bawah kaki kita, kisah tentang si Pietra dan kedua temannya.
Pietra sangat berbeda dari kecoa pada umumnya. Bila kecoa lain babak belur terkena sapu Mbah Marini, ia justru mampu membuat Mbah Marini babak belur. Mbah Marini adalah pemilik warteg “Serba Ada”, tempat singgah favorit para kecoa kota Jakarta.
Senja itu, Geng Keti — Kecoa Tiga, sedang berkumpul di dalam dinding dapur warteg yang berlobang. Tiga kecoa tersebut; Bujang, Marison, dan tentunya si Pietra, tengah mendiskusikan misi ‘pengambilan jatah makan’, seperti biasa.
“Ah, aku jera jadi umpan lagi. Sakit kepalaku kena sapu Si Raksasa itu. Gegar otak aku bisa,” ujar si Marison dengan logat khas Medan-nya. Dia memang biasa jadi umpan pengalih perhatian Mbah Marini, yang biasa mereka panggil dengan sebutan ‘Si Raksasa’.
Sambil tertawa terbahak-bahak si Bujang berkata, “Hahaha… Nasibmu, Son. Badanmu itu terlalu berat untuk sigap mengambil makanan. Makanya kau selalu jadi umpan.
“Sudah, sudah. Kali ini biar aku sendirian sajalah.
Bukankah aku selalu berhasil menjalankan misi kita? Belum sekali pun aku terkena sapu, hahaha…” kata si Pietra sambil mengangkat kaki dan memainkan antenanya.
“Wuoooo…” sorak kedua temannya. “Sombong sekali kau, Bung. Siapa tahu kau kena sialnya kali ini.”
“Ah, tidaklah. Aku selalu beruntung. Tenang saja. Kalian hanya perlu duduk disini dan saksikan kehebatanku. Kalian ingat, terakhir kali Si Raksasa itu terpleset di lantai dan
seminggu harus duduk di kursi roda karenanya.”
“Terserah kau sajalah. Tapi kami sudah memperingatkanmu, Piet.” Marison duduk menyandar pasrah seraya memijit kepala mungilnya. Bujang pun ikut bersandar dan berkata,” Kami membantumu dengan doa, Bung.”
Tanpa memperdulikan perkataan kedua sahabat karibnya, Pietra segera beranjak dari tempat duduknya dan mengintip keluar jendela alias lubang dinding di dapur warteg. Dia melihat jam bundar besar di dinding seberang. Jam tiga kurang lima.
Lima menit lagi aksinya baru bisa dimulai, tepat ketika si Mbah Marini membereskan sisa-sisa makanan dan membuangnya
ke tempat sampah yang sudah hampir tak layak pakai akibat retakan yang ditimbulkan oleh pukulan sapunya yang bertenaga super. Otak kecoa Pietra bekerja cepat memperhitungkan jalur ‘perang’ yang akan dia lewati nanti.
Tik-tok-tik-tok.
Waktu beraksi sedikit lagi. Marison dan Bujang tidak bersuara sedikitpun. Mereka tahu sifat Pietra tidak ingin diganggu bila sedang serius.
Tik-tok-tik-tok.
Pietra bersiap mengambil posisi. Keenam kaki sekaligus tangannya sudah menempel di lantai. Lima..empat..tiga..dua..satu!
Tepat jam tiga, langkah Mbah Marini terdengar. Bedebam bedebum. Suara berisik tabrakan sisa-sisa makanan dalam
kantong asoy hitam yang dibawanya, ikut mengiringi langkahnya.
Dengan kecepatan turbo, Pietra segera merayap di lantai itu menuju tempat sampah. Ia yakin misi ini akan sangat mudah seperti biasa. Bujang dan Marison hanya menonton sambil menahan napas.
“Firasatku tidak enak, Son,” ujar Bujang. Marison hanya menepuk-nepuk pundak Bujang untuk menenangkannya, namun terlalu kuat, sehingga membuat muka Bujang mencium lantai.
“Gila kau, Bung! Aduuuh, memble bibirku ini!”
Maka dimulailah pergulatan di antara kedua kecoa itu. Sementara itu, Mbah Marini sudah menuangkan sisa-
sisa makanan ke dalam tempat sampah. Pietra dengan sigap merayap ke tumpukan sampah paling atas dan menarik sepotong tulang ayam yang masih terdapat sedikit daging.
Melihat musuh bebuyutannya itu, Mbah Marini langsung berteriak dan alih-alih mengambil sapu seperti biasa, kali ini ia malah berlari keluar dapur.
“Bagus,” gumam Pietra dalam hati. “Raksasa itu sudah takut kepadaku. Bahkan mengayunkan sapu pun tidak. Kalian lihat, tidak, sahabatku? Haha…” Pietra turun dari ‘surganya’ itu dan ingin kembali membawa ‘kemenangan’ itu pada kedua temannya.
Di dalam markas Geng Keti, Bujang — yang tadinya sibuk menarik antena Marison, tiba-tiba berhenti. Marison masih saja berteriak, “Ampunilah aku, tak sengaja aku tadi.”
“Son, lihat. Gawat!” ujar Bujang sambil mengguncang tubuh teman gembulnya itu.
“Iya, sudah aku lihat bibirmu itu. Sudah memble.
Maafkanlah aku, Jang. Ampun!”
“Bukan itu! Lihat! Si Raksasa itu membawa cairan keramat, Son! Bisa mampus si Pietra, Son!!”
“Am… Hahhh? Apa kata kau?” Marison sontak kaget dan bangkit, membuat Bujang yang tadi berada di atasnya kembali mencium lantai. Bujang meringis kesakitan untuk kedua kali, namun rasa sakitnya itu sementara ia tunda. Ia dan Marison cemas akan nasib teman mereka.
Mbah Marini rupanya telah kembali. Kali ini tidak ada sapu di tangannya, melainkan sebuah benda yang berisi cairan
keramat. Cairan yang sangat membahayakan kecoa. Sayangnya, Pietra terlalu terlena dengan keberhasilannya dan tidak menyadari bahaya yang menantinya.
Bujang dan Marison serentak heboh berteriak dari markas mereka. “Wuooooi… Pietra! Awas!”
Pietra tidak terlalu jelas mendengar suara kedua sahabatnya.
Ia hanya tertawa geli sambil menarik tulang ayam. Ia mengira kedua temannya sangat senang karena melihat gaya mereka yang heboh sambil melambaikan keenam kaki yang juga merupakan tangan mereka.
“Sabarlah kawan, sebentar lagi aku sampai.” Ia balas berteriak.
Setelah itu, kejadiannya sangat cepat. Asap yang membawa partikel kecil cairan keramat sudah mengepul di belakang Pietra. Bujang dan Marison keluar dari markas dan berusaha mengejar Pietra, lalu menariknya dari kepulan asap itu tepat waktu.
Sementara itu, Pietra masih saja terus menarik tulang ayam itu sambil melambai pada kedua sahabatnya. Namun anehnya, kali ini langkahnya kian terasa berat. Aroma yang menusuk hidung tercium olehnya. Dadanya sesak.
“Bau apa ini?” katanya dalam hati. Saat ia menoleh, semburan asap tadi tepat mengenai mukanya. Pietra langsung terdiam kaku, tak lagi bergerak.
Bujang dan Marison sudah terlambat. Mereka diam di tempat. Semburan cairan keramat itu jauh dari mereka sehingga mereka selamat. Kedua kecoa itu berpelukan sambil menangisi nasib sahabat mereka, Pietra, yang terbujur kaku di bawah kaki Mbah Marini. Begitulah, nasib malang Pietra si Kecoa.
Sumber : @roselisha