Selamat pagi rekan-rekan ayorajinbelajar.com. Kali ini, kami akan membahas tentang sistem koloid yang memiliki dampak buruk bagi kehidupan, yaitu kabut asap/smog. Seperti yang sudah dijelaskan dalam pokok bahasan sistem koloid, koloid mempunyai sifat yang berada di antara larutan dan suspensi. Koloid bersifat stabil. Contoh koloid yang sering kita lihat adalah asap dan kabut. Asap terbentuk dari proses pembakaran, partikel-partikel padat hasil pembakaran terdispersi dalam udara (gas). Sedangkan kabut terbentuk dari partikel-partikel air (cair) yang terdispersi dalam udara (gas). Kabut dan asap ini bila bertemu akan menjadi kabut asap (smog) yang berbahaya bagi kehidupan karena dapat terhirup dan menimbulkan gangguan pernapasan, selain itu adanya kabut asap dapat memperpendek jarak pandang kita sehingga meningkatkan resiko kecelakaan di jalan raya. Kabut asap dapat terjadi karena pembakaran hutan yang hebat.
Kabut asap yang terkenal terjadi pada tahun 1952, di kota London Inggris. Langit kota menjadi gelap karena awan yang berisi kabut dan asap yang mengandung gas SO2 dan disebut sebagai kabut asap(smog). Pada saat terjadinya kabut asap tersebut, ada 3.000 warga kota London yang meninggal karena menghirup udara yang tercemar. Kasus serupa terjadi lagi pada tahun 1962 dan pada hari dimana terjadi smog atau kabut asap tersebut tercatat ada 700 kematian warga London.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa smog seperti yang terjadi di London dikenal sebagai smog fotokimia. Smog fotokimia adalah jenis koloid (aerosol) yang mengandung gas nitrogen dioksida (NO2) dan gas ozon (O3) yang berasal dari reaksi gas buang kendaraan bermotor dengan sinar matahari.
Gas buang kendaraan bermotor umumnya mengandung gas NO, CO, dan hidrokarbon. Gas – gas ini disebut sebagai polutan primer, sebab gas – gas tersebut selanjutnya akan mengalami reaksi fotokimia, yaitu reaksi yang terjadi akibat adanya foton (cahaya). Reaksi fotokimia ini menghasilkan polutan sekunder yang mengandung NO2 dan ozon (O3) yang akhirnya membentuk smog atau kabut asap.
Selain di London, Indonesia juga pernah mengalami kejadian kabut asap, yaitu di daerah Sumatera dan Kalimantan. Penyebabnya adalah kebakaran hutan. Di daerah Sumatera dan Kalimantan, banyak terdapat lahan atau tanah gambut. Tanah gambut bisa diartikan sebagai lapisan organik hasil dekomposisi yang tidak sempurna dari tumbuhan. Dekomposisi dari sisa tumbuhan ataupun makhluk hidup lainnya biasanya membutuhkan oksigen atau aerob. Ketika sisa tumbuhan ini terendam air (bisa karena hujan), maka dekomposisi menjadi tidak sempurna, sehingga terbentuklah lapisan gambut ini. Ketika lapisan atau tanah gambut ini kering sangat mudah sekali terbakar dan sulit dipadamkan. Bayangkan saja tumpukan kayu kering (sisa tumbuhan) terkena api. Keringnya tanah gambut ini bisa disebabkan oleh faktor manusia (membuat kanal – kanal) ataupun faktor alam (seperti El Nino).
Seperti pada reaksi pembakaran hidrokarbon yang menghasilkan karbon dioksida dan uap air, pembakaran sisa – sisa tumbuhan (yang merupakan senyawa karbon) pun menghasilkan karbon dioksida dan uap air plus gas – gas lainnya seperti CO, NO, NO2, SO dll.
Gas nitrogen oksida akan bereaksi dengan O2 di udara membentuk gas nitrogen dioksida:
2NO(g) + O2(g) → 2NO2(g)
Sinar matahari, terutama pada daerah spektrum panjang gelombang yang lebih rendah dari 400 nm menyebabkan terurainya gas NO2 menjadi NO dan atom oksigen yang sangat reaktif.
NO2(g) → NO(g) + O(g) (dengan batuan UV)
Atom oksigen yang dihasilkan sangat reaktif dan bereaksi dengan gas oksigen membentuk ozon (O3):
O(g) + O2(g) + M → O3(g) + M
Dengan M adalah gas inert (gas yang stabil dan sukar bereaksi) misalnya N2. Ozon selanjutnya dapat bereaksi dengan ikatan rangkap yang terdapat pada hidrokarbon yang tidak terbakar pada mesin mobil, NO, dan O2. Salah satu hasil reaksi fotokimia tersebut adalah peroksiasetil (PAN), yaitu senyawa yang dapat menyebabkan mata perih dan berair serta menimbulkan sesak napas.