Tersebutlah sebuah cerita murah berharga satu, mahal berharga dua. Pada zaman dahulu hiduplah seorang yang amat kaya. Ia bernama Bagus Diarsa. Ia selalu dibujuk oleh teman-temannya agar terjun ke dalam perjudian dan adu ayam. Mereka berharap agar harta benda Bagus Diarsa menjadi amblas. Oleh karena bujukan yang selalu dilancarkan, akhirnya Bagus Diarsa pun terjun ke dalam dunia itu. Harta kekayaannya kian hari kian berkurang dan akhirnya menjadi habis.
Di dalam setiap perjudian Bagus Diarsa selalu ditipu dan diperdayakan oleh teman-temannya. Sama sekali ia tak pernah memperoleh kemenangan. Ia selalu kalah. Walaupun demikian, Bagus Diarsa tak pernah merasa sakit hati. la memang selalu ikhlas, jujur, dan suka menolong. Pada saat hartanya benar-benar habis, ia kerap kali tampak termenung. Walaupun hartanya telah habis, ia tidak berhasil melepaskan diri dari kebiasaan berjudi. Oleh karena itu, istrinya yang selalu berbakti itu mendekatinya.
Dalam keadaan bagaimana pun juga mereka selalu rukun dan tak pernah cekcok, walaupun harta benda mereka telah habis. Cinta kasih mereka tetap seperti sedia kala. Kesetiaan istrinya begitu tinggi. Bagus Diarsa pun amat terkenal sebagai seorang penderma. la selalu suka membantu dalam bentuk apa pun. Apa saja yang diminta oleh orang, Bagus Diarsa selalu memberinya asal masih bisa memberi. Harta, buah pikiran, maupun dalam bentuk tindakan yang baik, Bagus Diarsa selalu siap membantu.
Itulah kehidupan Bagus Diarsa. Suatu pagi istrinya mendekatinya saat Bagus Diarsa sedang duduk termenung. Istrinya pun
lalu berkata, “Suamiku. Apakah yang membuat engkau sedih seperti itu? Mungkin, kamu sedang memikirkan uang untuk berjudi.”
“Istriku, Sudarnyana, aku sedang memikirkan nasib. Harta benda kita telah habis Kini aku tak punya uang lagi untuk dibawa ke gelanggang sambung ayam.”
“O, jadi itulah yang sedang kausedihkan. Baiklah. Aku akan mencari uang untuk dibawa ke gelanggang sabung ayam walaupun aku harus pergi ke tukang gadai. Apa saja yang masih bisa dijual akan kujadikan sebagai jaminan.”
“Nah, apabila kau masih ikhlas, aku pun sangat berterima kasih kepada semua perbuatanmu.”
Setelah itu Sudarnyana pun berangkat ke tukang gadai. Tak lama kemudian, ia pun berangkat ke tukang gadai dan membawa pulang sejumlah uang. Uang itu seluruhnya diserahkan untuk dipergunakan bekal berjudi suaminya.
“Suamiku. Inilah uang untukmu, Cuma delapan ratus.”
“Cukuplah istriku. Aku akan segera berangkat ke gelanggang sabung ayam agar tidak terlambat. Namun, uang ini apakah kau peroleh dengan berbohong kepadaku.”
“Tidak suamiku. Baktiku memang murni untuk dirimu. Uang itu memang benar aku peroleh dengan jalan menggadaikan barangbarang.”
Setelah menerima uang, Bagus Diarsa pun berkata, “Cukuplah sudah. Nah, sekarang aku berangkat.”
“Selamat jalan suamiku.”
Bagus Diarsa dan penjudi-penjudi yang lain semua merasa gembira. Dalam waktu yang singkat, ayam aduan Bagus Diarsa telah memperoleh lawan dengan taruhan tujuh ratus. Taji di kaki ayam telah siap. Kedua ayam aduan itu pun dilepas untuk bertarung. Tidak terkirakan. Sekali hantam ayam aduan Bagus Diarsa langsung mati. Oleh karena itu, napas Bagus Diarsa pun tersendat. Uangnya kini tinggal seratus. Mau bertaruh lagi sulit, kalau kalah tak ada lagi uang untuk membeli makanan. Sementara itu, perutnya kini mulai terasa lapar. Akhirnya, Bagus Diarsa pun segera menuju ke warung nasi.
“Ibu pedagang nasi, berikanlah aku sepiring nasi!” minta Bagus Diarsa. Pedagang nasi itu pun segera mempersiapkan pesanan. Sebelum siap menyantap, tiba-tiba muncuilah seorang lelaki yang amat tua. Kulitnya berkoreng dan berborok serta berbau amat busuk. Semua penjudi yang melihatnya mulai mual dan muntah karena tak tahan dengan bau busuk dari lelaki tua itu. Hanya Bagus Diarsa yang tidak muntah. la sama sekali tidak menampakkan kejijikan. Oleh karena itu, lelaki tua yang tampak sebagai pengemis itu pun mendekatinya.
“Hormatku kepadamu, hai pemuda tampan! Berikanlah hamba sisa makanan Tuan bila Tuan telah merasa kenyang.”
“Jangan berkata seperti itu, Pak. Uangku telah habis. Aku tak punya lagi untuk membeli makanan.”
“Bukan itu maksud hamba. Hamba hanya meminta sisa kalau Tuan telah kenyang.”
“Ah, mengapa mesti meminta sisa. Tak layak seperti itu. Jika aku memberikan sisa makanan, mau tak mau aku akan menjadi tulah. Oleh karena kau seorang yang amat tua, perbuatan itu tak layak sama sekali. Yang terbaik marilah kita makan bersama.”
Tak lama kemudian, mereka makan bersama dalam satu piring. Ketika melihat keadaan itu, penjudi-penjudi yang lain menutup hidung dan berludah karena merasa mual. Akan tetapi, mereka berdua tak menghiraukan semua itu. Mereka terus saja makan tak peduli. Setelah selesai, Bagus Diarsa pun mempersilakan orang tua itu untuk mampir ke rumahnya.
“Nah, Pak. Hari telah teramat senja, sebaiknya Bapak menginap di rumahku. Namun ketahuilah, aku tinggal di pegunungan. Kita berangkat lambat-lambat. Aku akan menuntun Bapak.”
Berangkatiah mereka berdua meninggalkan gelanggang sabung ayam itu. Bagus Diarsa selalu menuntun orang tua itu. Setelah tiba di rumah, Bagus Diarsa pun memanggil istrinya
“Istriku, Sudarnyana.”
“Ya, Kanda pulang terlalu sore. Adakah sesuatu halangan? Menangkah dalam perjudian, Kanda?”
“Aku kalah lagi. Semua uang itu telah habis. Tak ada yang bisa kubawa kembali.”
“Ya, kalau sudah habis, biarlah. Tak perlu dipikirkan lagi. Memang demikian hukum perjudian, kalau tidak menang pasti kalah, paling-paling kembali pokok. Namun, siapakah orang tua itu? Tampaknya patut dikasihani.”
“O, itu tamu kita. Dia berjumpa denganku di galanggang judi. Kemudian, kupersilakan mampir ke rumah kita. Nah, sekarang persiapkaniah semuanya. Menanaklah segera dan buatiah lauk pauk agar tamu kita yang sedang menderita ini cepat memperoleh hidangan.”
Sudarnyana melaksanakan permintaan suaminya. la pun mulai menanak dan membuat lauk pauk. Setelah semuanya siap, mereka pun bersantap bersama-sama dengan tamunya. Selesai makan orang tua itu berkata, “Terima kasih atas semua sambutan ini. Orang tua itu mohon pamit dengan sopan setelah selesai makan.”
“Mengapa Bapak mesti pulang? Hari telah malam. Lebih baik kalau kembalinya besok pagi. Besok anakku akan menemani Bapak sampai ke tempat.”
Esok paginya, orang tua itu berkata kepada Bagus Diarsa sambil memberikan sehelai ekor ayam. “Terima kasih, hai pemuda tampan. Bilamana Tuan berniat berkunjung ke tempatku terbangkanlah bulu itu dan ikuti ke mana arah terbangnya. Namun, sebelum dipergunakan hendaklah bulu Tuan simpan dahulu di Sanggah Kemulan.”
“Terima Kasih Bapak Tua.”
Bagus Diarsa pun menerima bulu ayam itu dan menyimpannya di Sanggah Kemulan sesuai pesan orang tua itu. Setelah itu ia pun memanggil anak tunggalnya.
“Wiracitra anakku. Kemarilah!”
“Ya, Ayah. Apakah yang hendak Ayah sampaikan.”
“Anakku. Ayah minta kepadamu. Temanilah kakek ini kembali ke tempatnya. Jagalah baik-baik selama dalam perjalanan dan jangan sampai tertimpa bencana. Kakek ini sedang menderita sakit.”
“Baiklah Ayah.”
“Nah, berangkatlah sekarang juga dan hati-hatilah.”
Ketika mendengar percakapan itu, kakek itu pun berkata, “Terima kasih. Namun, masih ada permohonanku. Jikalau Wiracitra mau menemaniku pulang sampai ke pondokku, aku mohon diperkenankan Wiracitra tetap tingal di pondokku.”
“Baiklah, jikalau hal itu yang diminta. Aku setuju dan sama sekali tidak berkeberatan. Nah, Wiracitra berangkatiah, temani kakek ini pulang.”
“Baiklah Ayah. Ibu saya mohon pamit,” kata Wiracitra sambil sungkem kepada kedua orang tuannya.
“Nak, berjalaniah. Ibu hanya memohon agar perjalanan kalian selalu selamat.”
Akhirnya, kakek dan Wyacttra itu pun berangkat. Perjalanannya itu mulai menuruni lembah, mendaki jurang, dan tebing. Jalan Wiracitra selalu tertinggal oleh kakek itu. Wiracitra mulai kepayahan dan minta beristirahat.
“Mengapa harus istirahat Wiracitra? Rumahku telah dekat.”
“Aku sangat lelah Kek, aku tak tahan lagi berjalan.”
“Ayolah kita lanjutkan perjalanan ini, rumahku sudah dekat.”
Wiracitra pun akhirnya memaksakan diri untuk mengikuti perintah kakek itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba ia merasa berada dan memasuki serta berjalan di angkasa. Setelah berjalan melalui angkasa, mereka pun tiba di tempat tujuan. Wiracitra sangat kagum melihat pemandangan yang tampak indah. Banyak wanita yang amat Cantik menyongsong kedatangan mereka. Wanita-wanita itu menyembah orang tua itu. Ketika melihat kenyataan itu, Wiracitra pun berpikir dalam hatinya. “O, mungkinkah ini yang bernama surga? Bila demikian halnya, orang tua ini tak lain adalah Batara Siwa.”
Tiada lama kemudian, orang tua itu pun berkata.
“Nah, Wiracitra. Tinggallah kau di sini bersamaku. Sesungguhnya aku tiada lain adalah Batara Siwa.”
Ketika mendengar hal itu, Wiracitra pun buru-buru menghaturkan sembah. Wiracitra akhirnya menetap/tinggal bersama kakek itu yang ternyata adalah Batara Swa. Tanpa terasa, Wiracitra sudah bertahun-tahun tinggal bersama kakek.
Bagus Diarsa dan Sudarnyana, sedang duduk bersama dalam rumah. Tiba-tiba Bagus Diarsa berkata kepada istrinya. “Istriku, Sudarnyana. Telah lama aku tak pergi ke gelanggang judi sabung ayam.”
“Bagus Diarsa, suamiku, walaupun kau menang atau sekalipun tak pernah mengalami kemenangan, aku mohon hentikanlah kebiasaan itu.”
“Baiklah istriku. Kini aku teringat akan anak kita, Wiracitra. Sudah bertahun-tahun lamanya ia meninggalkan kita.”
“Memang sungguh aneh. Aku pun sampai lupa, tetapi ke manakah kita harus mencari dan di manakah ia kini berada?”
“Sudarnyana istriku. Aku masih ingat. Orang tua itu meninggalkan suatu pesan kepadaku. la meninggalkan sehelai bulu ayam yang kini aku simpan di Sanggar Kamulan. Bulu itu dapat kita pergunakan untuk mencari rumah orang tua itu. Namun, apakah bulu itu masih ada atau tidak? Karena sudah lama aku tak menengoknya.”
“Suamiku, ayolah kita lihat.”
Mereka pun segera menuju ke Sanggar Kamulan untuk menengok bulu ayam yang dahulu pernah disimpannya. Bulu itu mereka temukan.
“Sudarnyana istriku, inilah bulu ayam itu.”
“Kalau begitu cepatiah mencari anak kita.”
“Nah! Sekarang tinggallah kau di rumah. Aku akan berangkat seorang diri.”
“Aku akan menunggumu sampai di rumah.”
“Tidakkah kau akan merasa kesepian apabila aku tinggalkan.”
“Ah, tidak. Aku akan mendoakan sernoga kau selamat dalam perjalanan mencari anak kita.”
Bagus Diarsa pun segera mengambil bulu ayam itu dan segera menerbangkannya. Tiada lama tampaklah seberkas asap, bergerak menuju ke arah timur laut. Di ujung asap itu tampak bulu ayam yang melaju. Mulailah Bagus Diarsa berjalan mengikuti arah terbangnya bulu ayam itu. Tidak berapa lama dalam perjalanan, tibatiba Bagus Diarsa merasa seolah jalan mendaki, memasuki angkasa. Di sekitarnya terasa bagaikan kosong. Hanya angin yang terasa meniup badannya.
Kini Bagus Diarsa benar-benar telah berada di angkasa raya. la berjalan terus mengikuti arah bulu ayam itu. Setelah meliwati ruang kosong dengan selamat, Bagus Diarsa kemudian melihat sebuah padang bening. Terlihat olehnya roh-roh manusia yang sedang berteriak tak menentu. Roh-roh itu bercakap-cakap di antara sesamanya.
Bagus Diarsa pun terus berjalan memasuki padang itu. Akhirnya, ia melihat berbagai jenis roh yang sedang menderita karena perbuatan buruk waktu hidup di jagat raya. Mereka itu memetik apa yang pernah mereka lakukan. Mereka berkumpul menjadi satu padang dalam suasana yang sangat tidak menyenangkan. Mereka menantikan hukuman yang bakal diterimanya.
Di padang bening yang lain, Bagus Diarsa kembali melihat roh-roh yang selalu mengintip dan meniarap. Kejadian itu pertanda sewaktu mereka hidup di alam fana pernah melakukan pencurian, berbohong, memperkosa, menipu, dan kejahatan lainnya. Mereka merasa kepanasan dan haus menanti ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya sewaktu hidup.
Di padang yang lain lagi, Bagus Diarsa melihat pemandangan yang lain pula. Di padang itu ia melihat roh-roh yang sebagian duduk kehausan dan kepanasan serta kelaparan. Sambil bemaung di bawah pohon jarak dan kaktus mereka mengomel karena kaum kerabat dan anak cucunya lalai melakukan munjung “melakukan upacara sajian untuk arwah’ atau melalaikan kewajiban ngaben ‘upacara
“Benar, jawab Bagus Diarsa sedikit bingung. Siapakah sebenarnya orang ini?”
“Nah. Supaya kau tidak ragu dan sangsi lagi, baiklah aku katakan yang sebenarnya. Sesungguhnya, aku adalah Batara Siwa yang selalu menjadi pujaan di dunia sana. Waktu aku turun ke dunia dahulu karena aku tahu liku-lku hidupmu yang selalu ditipu dan diperdayakan orang hingga jatuh melarat. Namun demikian, kau tetap menjalankan kewajiban suci, tetap rela memberikan dana kepada yang membutuhkan dan tak pernah berpikir buruk. Sebab itulah aku mengujimu dengan menyamar sebagai pengemis tua penuh borok dan berbau busuk.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Bagus Diarsa kemudian duduk melekat di tanah dan kemudian menyembah.
“Ampunilah Tuanku, hamba menghadap Tuan karena ingin benar mengetahui kedaan anak hamba Wiracitra.”
“O, jangan kaupikirkan lagi. Anakmu, Wiracitra kuberikan tempat yang layak. Ia berada dalam tempat yang menyenangkan karena kesetiaannya.”
“Hamba menghaturkan terima kasih dan bersyukur. Sama sekali hamba tak menduga kalau orang tua yang hamba bantu dahulu adalah penjelmaan dari Tuanku. Hamba mohon maaf atas tingkah laku hamba sewaktu melayani Tuanku.”
“Ah! Janganlah hal yang sudah berlalu engkau pikirkan. Sebaiknya, kau menginap di tempat ini. Namun, perlu kau ketahui bahwa di tempat ini tak ada siang dan malam seperti di bumi. Untuk membedakan kedua waktu itu ada suatu tanda. Bila ayam-ayam itu telah naik ke tempat tidurnya itulah tandanya hari telah senja atau malam. Apabila ayam-ayam itu mulai turun kembali itulah tanda hari telah pagi. Jika kau berkeinginan memiliki ayam yang berasal dari tempat ini, kau boleh pilih nanti malam. Ayam mana saja yang kausukai. Pada waktu-waktu tertentu semua ayam jantan akan berkokok
“ untuk menunjukkan waktu.”
Akhirnya, tibalah malam hari. Ketika ia memperhatikan ayamayam jantan yang sedang tidur, tiba-tiba seekor di antaranya berkokok sangat aneh.
“Kuk…kruyuk, kalau kau tak tahu, akulah yang akan membunuh raja negerimu.”
Ketika menemukan kejadian aneh itu, pagi-pagi benar di keesokan harinya Bagus Diarsa menghadap Batara Siwa dan memohon ayam jantan pilihannya sendiri yang berkokok aneh. Permohonan itu dikabulkan oleh Batara Siwa disertai pemberian yang lain berupa kunyit satu kisa dan lengkuas satu kisa. Setelah itu Bagus Diarsa pun memohon pamit.
“Nah! Anakku Bagus Diarsa, pulanglah, dan berjalanlah baikbaik,” pesan Batara Swa.
Bagus Diarsa pun menerbangkan bulu ayamnya kembali dan – ia pun mengikutinya sampai ke rumahnya. Istrinya pun menyongsongnya dengan gembira.
“Bagaimana keadaanmu, suamiku? Sudahkah kau mengetahui keadaan Wiracitra?”
“Aku baik-baik saja. Keadaan Wiracitra sudah kuketahui. Dia sudah berada di tempat yang amat menyenangkan. Orang tua borokan, berbau busuk, dan bertampang pengemis yang menjadi tamu kita dahulu situ tak lain adalah Batara Siswa.”
“Jadi, orang tua itu adalah penjelmaan Batara Siwa?” tanya istrinya.
“Benar. Beliau adalah Batara Siwa.”
“Jika demikian halnya, aku tak lagi memikirkan Wiracitra.”
Setelah kembali ke dunia fana kehidupan Bagus Diarsa dan
istrinya tampak bertambah rukun dan tambah saling mencintai.
Suatu hari Anak Agung yang memerintah negeri itu akan menyelenggarakan gelanggang adu ayam. Berita itu terdengar pula oleh Bagus Diarsa. Para penggemar judi sabung ayam di negeri itu sangat senang dan dipastikan akan turut menghadiri arena adu ayam. Bagus Diarsa pun berkeinginan untuk menghadirinya. Pada
saat yang telah ditentukan Bagus Diarsa berangkat menuju ke
gelanggang adu ayam. la membawa ayam jantan yang diperolehnya dari Batara Siwa. Tidak lupa ia membawa kunyit dan lengkuas yang kini telah berubah menjadi emas dan perak.
Ketika melihat kehadiran Bagus Diarsa di gelanggang, semua penjudi merasa gembira dan bersiap untuk memusuhinya. Apalagi, setelah diketahui bahwa ia membawa emas dan perak untuk taruhan.
Akhirnya, ayam milik Bagus Diarsa disepakati untuk diadu melawan ayam Anak Agung, raja negeri itu. Berapa pun taruhan yang diajukan lawan selalu dihadapi oleh Bagus Diarsa. Tidak seorang penjudi pun memihak kepada ayam Bagus Diarsa. Semua penjudi memusuhinya. Sebelum masing-masing ayam itu diadu terlebih dahulu dipersenjatai dengan taji. Setelah siap barulah ayam itu dilepaskan.
Sorak-sorai mulai menggemuruh. Ayam itu pun mulai bertarung. Apabila yang satu terbang menyerang, yang satunya lagi menangkis. Keduanya saling mencari kelengahan lawan. Apabila salah satu di antaranya lengah, yang satunya membalas serangan. Pada paruh pertarungan ayam milik Bagus Diarsa terkapar di tanah. Ayam itu pura-pura kalah. Sorak musuh-musuh Bagus Diarsa pun semakin gemuruh. Ayam milik Anak Agung berada di atas angin. Ayam itu dengan angkuhnya mengitari musuhnya yang terkapar tak berdaya. Anak Agung sangat gembira melihat hal itu. Lain halnya dengan Bagus Diarsa yang mulai tampak kecewa dan menyesali nasibnya.
“Ah! Memang nasibku yang selalu sial. Ayam berasal dari surga pun aku adu masih tetap kalah. Rupanya memang terlarang bagiku untuk berjudi.”
Setelah berpikir demikian, tiba-tiba ayam milk Bagus Diarsa bangkit dan terbang menyerang Anak Agung. Raja itu pun terkena taji dan meninggal seketika. Ketika melihat hal itu, yang hadir pun menjadi kacau balau. Semua orang bergerak hendak menyerang dan membunuh Bagus Diarsa. Akan tetapi, tiba-tiba ayam milik Bagus Diarsa menjelma menjadi seekor garuda dan melindungi
Bagus Diarsa. Garuda itu menyerang orang-orang yang sedang kalap dan ketakutan itu. Setelah suasana reda kembali, Bagus Diarsa pun diterbangkan oleh garuda itu menuju surga loka.
Bagus Diarsa selalu ditipu dan diperdaya hingga jatuh melarat, tetapi is masih bersifat mulia yang selalu menolong kepada sesamanya.