Cerita ini adalah sebuah cerita tentang seorang brahmana yang memiliki sifat tercela. Brahmana itu bernama Ida Bagus Taskara. la gemar benar melakukan pencurian. Setiap kesempatan yang baik selalu dipergunakan untuk mencuri. Ia selalu mencuri benda khusus. Ia selalu mencuri kambing. Tak pernah ia mencuri benda lain, selain kambing. Dalam melakukan kebiasaannya ini, ia termasuk seorang yang pandai dalam menyembunyikan dan me»? manfaatkan hasil curiannya. Tak seorang pun yang mengetahui kalau semua pencurian kambing yang pernah terjadi di kampung adalah hasil perbuatannya. Tak seorang pun pemah mencurigainya sebagai pencuri walaupun perbuatan itu telah dilakukannya bertahun-tahun. Lebih-lebih, ia seorang brahmana. Tak seorang pun menaruh syak wasangka terhadap dirinya.
Lama-kelamaan nasib malang menimpanya. Seorang penduduk memergokinya sedang melakukan pencurian. Penduduk itu pun berteriak, “maling!” Tetangga pun bangun dan berteriak pula. Akhirnya, seluruh penduduk kampung terbangun, berteriak, dan mengejarnya. Penduduk memang sudah sangat membenci pada pencuri karena kerap kali mereka kehilangan kambing. Malam itu penduduk penuh semangat mengejar, meneriaki, dan mengumpat pencurinya. Namun, tak seorang pun berhasil menangkapnya. Jangankan menangkap, mendekati pun tak ada yang berhasil. Ia memang seorang pencuri yang sangat mahir dan licin serta larinya sangat cepat. Akan tetapi, untunglah bagi penduduk, karena seorang di antara mereka mengenalinya. Pencurinya adalah Ida Bagus Taskara, tak salah lagi.
Oleh karena itu, mereka mengejar sambil berteriak menyebut namanya.
Pencuri itu terus berlari dengan cepat. Ketika mendengar namanya disebut-sebut sebagai pencuri, tahulah ia kini bahwa dirinya dan kejahatannya telah diketahui masyarakat. la pun merasa sangat malu. Ia tak sanggup lagi untuk muncul di kampungnya. Ia pun terus berlari memasuki hutan. Para pengejar kehilangan jejak dan kembali ke rumah masing-masing. Peristwa itu menjadi buah bibir masyarakat selama beberapa hari. Betapa hina dan memalukan benar, jika seorang brahmana melakukan perbuatan nista seperti itu.
Ida Bagus Taskara terus berjalan memasuki hutan. Semakin jauh ke tengah untuk menghindan masyarakat. Beberapa hari ia berjalan di tengah hutan. Akhirnya, ia menemukan sebuah pasraman ‘tempat mengasingkan diri para resi atau pendeta’. Pasraman itu milk seorang pendeta Budha Bhairawa yang sedang bertapa. kda Bagus Taskara pun memasuki pasraman itu kemudian memohon izin untuk tinggal di tempat itu. Sang pendeta pun menerimanya dengan baik.
Dengan demikian, tinggallah Ida Bagus Taskara di pasraman itu serta meladeni kebutuhan sang pendeta waktu bertapa. Setiap pekerjaan dilakukannya dengan sungguh-sungguh serta dengan rasa senang. Sifat-sifatnya telah berubah. Rupanya ia telah menyadari kesesatan langkahnya pada masa lalu. Ia berusaha memperbaiki diri dan insyaf serta berniat menjadi manusia yang baik kembali.
Semua tingkah dan laku Ida Bagus Taskara diamati dengan baik oleh sang pendeta. Setelah beberapa tahun membantu sang pendeta, akhirnya sang pendeta pun sangat menyayanginya. Ida Bagus Taskara pun diberi berbagai ilmu kerohanian. Setelah dipandang cukup matang, Ida Bagus Taskara dianjurkan bertapa di sebuah kuburan untuk memohon ilmu kepada Batari Durga. Tapanya sungguh berat. Waktu bertapa ia harus mampu memandang dan mempergunakan benda khusus manusia sebagai selendang, hati untuk bunga, jantung sebagai anting-anting, darah untuk sembeg, dan air jenazah sebagai bahan pewangi. Tapa itu dimulai dengan
restu sang pendeta. Ida Bagus Taskara pun mulai melakukan tapa dan menjalankan semua syarat dengan patuh dan tepat. Pada tahap awal, Ida Bagus Taskara selalu dibimbing oleh sang pendeta. Setelah dipandang berjalan dengan sempurna, sang pendeta pun meninggalkan Ida Bagus Taskara bertapa seorang diri. Setelah beberapa hari kemudian, muncullah Batari Durga.
“Hai Taskara, dengarkanlah kata-kataku. Oleh karena kau teguh dan tabah dalam menjalankan tapa, kuberkahi dan kunyatakan kau telah berhasil dan lulus. Akan tetapi, ada suatu syarat yang harus kaupatuhi selamanya. Terlarang bagimu pulang ke rumah asalmu dalam bulan kesembilan, dalam perhitungan tahun Saka, walaupun untuk keperluan yang amat penting.”
Setelah itu Batari Durga pun lenyap meninggalkan Ida Bagus Taskara. la pun mengakhiri tapanya. Oleh karena itu, ia pun kembali menuju ke pasraman untuk menemui sang pendeta.
Ketika melihat kehadran Ida Bagus Taskara, sang pendeta pun sangat gembira. Lebih-lebih setelah mengetahui keberhasilan tapa Ida Bagus Taskara. Sang pendeta pun akhirnya berkata, “Nah, tapamu telah diberkahi oleh Batari Durga. Aku senang memiliki murid sepertimu. Oleh karena itu, aku berniat membaptismu sebagai pendeta. Setelah kau kubaptis, namamu akan aku ganti menjadi Ida Pedanda Witaskara dan kuangkat menjadi pendeta di wilayah hutan ini.”
“Baiklah, Bapak Pendeta. Hamba akan selalu menuruti kemauan Bapak Pendeta karena Bapaklah yang telah menjadikan diri hamba berubah seperti sekarang ini.”
“Nah, bila kau menyetujuinya, aku akan membaptismu. Setelah aku baptis jangan lupa namamu menjadi Ida Pedanda Witaskara.”
Mulai saat itu, Ida Pedanda Witaskara mulai menjalani hidup kependetaan dengan taat. Semua kewajiban telah dijalankan dengan sempuma. Semua tingkah laku pendeta baru itu pun selalu diamati oleh sang pendeta dan Batari Durga. Ketika melihat keteguhan, kepatuhan dan ketaatan dalam kependetaan, Betari Durga berniat ingin
mengujinya kembali. Batari Durga memerintahkan seorang gandarwa ‘salah satu jenis makhluk penghuni surga’ agar menjelma menjadi seorang wanita cantik dan bertugas untuk menggoda keteguhan dan kepatuhan Ida Pedanda Witaskara.
Suatu hari tatkala pendeta muda ini berjalan-jalan sambil menikmati keindahan pemandangan, tiba-tiba muncullah seorang gadis yang amat cantik. Gadis itu berkata dengan suara lemah lembut dan penuh hormat memohon untuk dijadikan pelayan. Dia selalu siap melayani sang pendeta dalam melakukan kewajiban kependetaan atau membantu memetik kembang keperluan upacara.
Oleh karena gadis itu tampak bersungguh-sungguh, sang pendeta pun memperkenankan permohonannya. Dengan demikian, mulailah gadis itu membantu dan melayani semua kebutuhan sang pendeta.
Setelah beriangsung beberapa tahun dan melihat tabiat gadis itu sangat baik dan cantik pula, terbitlah niat sang pendeta untuk memperistrinya. Gadis itu pun tidak menolak dan bersedia menyerahkan jiwa dan raganya kepada sang pendeta. Akhirnya, perkawinan pun dilangsungkan sebagaimana mestinya.
Mereka hidup sebagai suami istri. Setelah perkawinan itu berlangsung cukup lama, tibalah saatnya istri pendeta itu mulai hamil. Ia melahirkan seorang bayi. Saat bayi itu mulai berjalan, bertepatan dengan bulan kesembilan perhitungan tahun Saka. Istri pendeta itu menyatakan keinginannya untuk pergi ke kota dan ingin benar melihat rumah asal suaminya, sang pendeta.
“Suamiku, ingin benar aku mengetahui dan melihat rumah asal sang pendeta ketika masih remaja.”
“Ah, istriku. Janganlah kau menginginkan hal itu. Sebab ketika aku bertapa, Batari Durga yang memberkahi tapaku, mengeluarkan Suatu pantangan padaku agar jangan sekali pun mencoba pulang ke rumah asalku di saat bulan kesembilan menurut perhitungan tahun Saka.”
Ketika mendengar kata-kata itu, istrinya menampakkan keterkejutannya. “Ah, suamiku. Janganlah hal itu dikatakan di hadapanku.
Aku sangat ingin melihatnya, mustahil akan menyebabkan bencana.”
“Jangan berkata seperti itu istriku. Batari Durga dengan tegas telah melarangku.”
“Ah, suamiku, bila demikian halnya pastilah itu berarti aku tidak disayangi lagi. Berarti pula permohonanku tidak diperkenankan. Oleh karena itu, aku, akan pergi bersama anak kita walaupun hari telah panas aku akan berangkat juga dari hutan ini.”
“Ah, istriku. Janganiah kau bertindak seperti itu. Langkah itu akan berarti kau menghendaki berpisah denganku.”
“Suamiku Sang Pendeta, bila keinginanku ini tidak dipenuhi, apa boleh buat. Aku tidak berkeberatan bila harus berpisah dengan suami. Betapa pun akibatnya, aku akan pergi juga ke kota untuk melihat rumah kelahiran suamiku. Aku sangat ingin melihat kota. Aku belum pernah melihatnya. Selama bertahun-tahun aku selalu hidup di hutan.”
Ketika mendengar ucapan istrinya yang keras itu, sang pendeta menjadi bisu. Ia tak dapat menjawab lagi. Ia tak tahu bagaimana harus mengatasinya. Pantangan Batari Durga masih selalu diingatnya. Ia berpikir bila menuruti kehendak istrinya pastilah akan menemukan suatu bencana.
Pada saat yang telah ditentukan, istri pendeta bersiap-siap. Ia menggendong anaknya kemudian berangkat. Ketika melihat istrinya telah berangkat, sang pendeta itu pun berpikir, “Ah, bila harus menuruti kehendak istri, pastilah akan menemukan hal-hal yang tidak baik. Bila tidak kuikuti juga akan menjumpai hal-hal yang baik juga. Tak berarti hidup sendiri di dunia ini. Tak layak seorang istri dibiarkan berjalan hanya dengan seorang anak. Tampaknya, tidak menyenangkan pendapat umum. Orang-orang pasti menanyakan siapa suaminya, siapa ayah anak itu? Nah, ia adalah istriku dan anak itu adalah anakku. Walaupun apa akibatnya, aku harus menghadapinya. Aku rela mati karena istri atau pun anak. Hidup membiarkan anak dan istri terhina di tengah jalan. Tak berarti hidupku sama sekali serta malu ditinggalkan istri dan anaknya.”
Didesak oleh pikiran seperti itu, sang pendeta bergerak untuk menyusul anak dan istrinya. la mengabaikan pantangan Batari Durga. Sang istri berjalan terus disusul oleh sang pendeta. Perjalanan itu sangat panjang. Telah lama mereka berjalan dari kepanasan kemudian mendung dan akhirnya hujan turun dengan lebatnya mengguyur mereka. Sang istri tampak memasuki sebuah gua untuk berteduh dan sang pendeta pun menyusulnya. Sesungguhnya perjalanan mereka telah mendekati kota. Di dalam goa itu mereka berteduh dengan tenang sambil menanti hujan reda.
Hari itu juga, raja negeri itu kehilangan seekor kambing kesayangan yang sedang mempunyai seekor anak. Oleh karena itu, raja memanggil para petugas istana dan memerintahkan untuk mencari induk kambing dan anaknya itu.
“Hai petugas istana. Kambing kesayanganku telah hilang beserta anaknya. Kambing itu pasti dicuri orang. Oleh karena itu, carilah sampai ketemu beserta pencurinya. Siapa saja yang mencurinya, bilamana tertangkap bunuh ditempat dan kemudian dibakar. Jangan pandang bulu dan jangan diberi ampun. Mengerti? Nah, sekarang berangkatlah.”
Ketika mendengar perintah rajanya, para petugas istana dan dibantu oleh rakyat bergerak untuk mengejar dan mencari pencuri kambing kesayangan sang raja. Mereka bergerak ke berbagai penjuru kerajaan. Mereka bertanya kepada semua orang yang ditemui.
“He, Pak. Adakah Bapak melihat seekor kambing dan anaknya dituntun oleh seseorang?”
Jawaban mereka bermacama-macam. Ada yang menjawab tidak tahu, ada yang menjawab tahu. Arah orang yang menuntun kambing dan anaknya itu, ada yang ke timur, utara, selatan, dan barat. Para petugas terus berusaha mencari dan menemukannya. Akhirnya, setelah lama berjalan tibalah mereka pada sebuah dusun yang terletak di pinggiran kota. Setelah memeriksa dusun itu dan menanyai semua penduduk, mereka pun dengan cepat melanjutkan pengejaran dan kembali berpencar ke berbagai arah. Sebagian dari mereka secara kebetulan tiba pada sebuah gua tempat sang pendeta bersama istri dan anaknya berteduh. Seorang di antara mereka dengan cara sopan bertanya.
“Pak Pendeta. Adakah Pendeta melihat seseorang menuntun seekor kambing beserta anaknya?” Ketika mendengar pertanyaan itu, sang pendata terdiam sesaat. la menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah yakin bahwa tak seekor kambing pun terdapat di dekatnya, ia pun menjawab.
“Tak ada. Tak seekor kambing pun pernah kulihat.” Pengejarpengejar itu dengan cepat melanjutkan tugas kembali dan tidak lupa mohon pamit kepada sang pendeta. Tak lama kemudian, pendeta itu pun melihat pengejar-pengejar yang lain. Seorang di antaranya berteriak.
“Tadi kulihat kambing itu menuju ke tempat ini. Pasti masuk ke dalam gua itu.” Ketika mendengar teriakan yang bernada yakin, sang pendeta itu pun menjawab.
“Tak ada. Telah kukatakan juga kepada teman-teman yang terdahulu. Aku sama sekali tak pernah melihat seekor kambing pun.” Setelah para pengejar itu pergi, datang pengejar berikutnya. Seorang di antara mereka dengan jelas melihat seekor kambing betina de-‘ ngan anaknya berada di belakang sang Pendeta. Orang itu berteriak dengan keras. “E, kawan-kawan, ini dia kambing itu.”
“Mana?” tanya yang lain.
“Itu di dalam gua. Di belakang sang Pendeta.” Kemudian para pengejar yang lain pun berdatangan dan bersorak.
“Kambing telah ditemukan. Kambing telah ditemukan.”
“Mana pencurinya?” teriak seorang di antara mereka.
Semua menoleh dan mengamati sang pendeta dengan pandangan tajam. Mereka pun mengenal sang pendeta. Oleh karena itu, mereka pun berteriaklah.
“Nah, dialah pencurinya. Ia menyamar sebagai pendeta. Inilah Ida Bagus Taskara, pencuri yang dikejar oleh masyarakat beberapa tahun yang lalu. Inilah dia Ida Bagus Taskara pencuri kambing yang dikejar oleh masyarakat dulu. Pasti dialah yang mencuri kambing
kesayangan raja itu. Sejak dahulu dia memang seorang pencuri kambing. Pasti dialah pencurinya.”
“Bunuh saja,” tiba-tiba seseorang memberikan aba-abab. Mereka pun bergerak serentak. Ada yang memukuli, ada yang menyepak, ada yang melempari, dan ada pula yang menikamnya. Akhirnya, sang pendeta itu menghembuskan napasnya. Ia telah meninggal dunia. Akan tetapi, tiba-tiba para pembunuh itu menjadi terkejut. Kambing betina dengan anaknya itu lenyap seketika. Merekapun tercengang, lalu melongo, dan akhirnya menyesali perbuatannya.
Nah, itulah akibatnya orang yang berani melanggar perintah dari dewata.