Suara gemercik air hujan masih terdengar pagi ini. Udara dingin sekali di sekitar danau. Burung-burung enggan berkicau. Mereka bersembunyi di bawah dedaunan yang lebat. Kelinci pun enggan beranjak dari tempat persembunyiannya. Biasanya, danau itu ramai oleh angsa dan itik yang berenang.
sambil berkejar-kejaran, tetapi pagi ini tak tampak seekor pun yang hadir. Alam seakan sedang murung karena sinar matahari tak menampakkan diri.
Di balik sebuah pohon yang besar dan rindang tinggallah Bengkarung yang sangat disegani seluruh rimba belantara. Ia sedang menikmati suasana pagi itu dengan duduk santai. Tempat tinggal Bengkarung memang terlihat indah dengan bunga-bunga yang tampak teratur dan terawat.
Konon pada zaman dahulu Bengkarung serupa binatang yang sangat berbisa dan tidak ada tandingannya di antara binatang berbisa lainnya. Bisa Bengkarung sangat mematikan binatang yang digigitnya. Bisa itulah yang menjadikan dirinya disegani semua binatang di rimba belantara. Ia pun menjadi binatang yang sangat dihormati. Semua binatang tunduk dan
patuh kepadanya. Selain karena bisa yang sangat mematikan, lajugasangat diseganikarenakebaikannya. Binatang-binatang pun merasa aman tinggal di rimba belantara yang indah dan menawan itu.
Sudah menjadi kebiasaan, sebelum matahari tenggelam, Bengkarung selalu berjalan-jalan di sekeliling danau tempat para binatang berkumpul. Ia pun menyapa satu demi satu binatang yang ditemuinya.
“Selamat sore, Kijang yang baik. Apa kabar?”
“Kabar baik, Tuan,” jawab Kijang dengan penuh hormat.
Bengkarung melanjutkan perjalanannya kembali.
“Selamat sore, Kuda Poni yang cantik.”
“Selamat sore juga, Tuan.”
“Mengapa wajahmu murung?”
“Saya sedang merenungkan betapa nikmatnya hidup kami tinggal di rimba ini”.
“Tuan seorang pemimpin yang sangat disegani oleh seluruh warga rimba. Kami semua hidup rukun tanpa permusuhan, sedangkan keadaan saudara-saudara kami di rimba sebelah mengalami kesusahan,” kata Kuda Poni dengan semangat”.
“Kesusahan? Kesusahan apa rupanya sehingga membuatmu iba kepada saudara-saudara di rimba sebelah?” tanya Bengkarung lagi.
Kuda Poni pun mulai menceritakan pengalamannya ketika melihat binatang-binatang yang hidup dalam ketakutan karena kekejaman Ular Tedung. Bengkarung mendengarkan dengan serius kata demi kata yang diucapkan Kuda Poni. Setelah itu,
Bengkarung meninggalkan Kuda Poni yang masih berada di pinggir danau. Ia menelusuri danau sambil sesekali menyapa binatang yang dihampirinya.
Ia memikirkan cara untuk menolong warga rimba sebelah yang sedang dalam ketakutan karena kekejaman pemimpinnya.
Ketika malam tiba, rimba menjadi tenang. Sesekali terdengar suara kelelawar yang sedang mencari makan. Terdengar pula suara pekikan Siamang saat mencari tempat untuk merebahkan badan setelah seharian bermain dengan kawan-kawannya. Ketika malam semakin larut, kunangkunang tampak menerangi gelapnya malam di rimba belantara sebelah utara itu.
“Pengawal, apa kamu mempunyai ide, bagaimana cara untuk menghentikan kejahatan Ular Tedung di rimba belantara sebelah selatan itu?” tanya Bengkarung.
“Kami belum mempunyai ide bagaimana caranya menaklukkan penguasa di rimba itu. Kami merasa kasihan mendengar binatang-binatang di sana hidup dalam ketakutan dan tekanan karena kekejaman Ular Tedung.”
“Aku dapat merasakan betapa binatang-binatang di sana Ingin juga merasakan situasi yang kita rasakan di rimba ini. Sungguh malang nasib mereka, Pengawal.”